Monday, April 2, 2012

Mencintai Allah

Syekh Abdul Qadir al-Jailani (Part-5)
(Pengajian 9 Jumadi al-Akhirah 545 H. di Ribath)

Diriwayatkan dari Nabi Saw :
"Bahwasanya seorang laki-laki datang menghadapnya, lalu berkata, 'Aku mencintaimu karena Allah 'Azza wa Jalla.' Beliau pun bersabda padanya, 'Jadikan bala cobaan sebagai jubah, jadikan kefakiran sebagai jubah."

Karena engkau ingin bersifat sepertiku, maka sifatilah dirimu seperti sifatku. Termasuk syarat mahabbah adalah muwafaqah (menurut). Dikisahkan bahwa Abu Bakr ash-Shiddiq ra. (rela) memberikan seluruh harta kekayaannya kepada Nabi Saw, karena kesungguhan cintanya kepada beliau. Ia berbuat seperti perbuatannya dan ikut merasakan kefakiran bersamanya, hingga ia ikut memanggul beban. Ia menurutinya, lahir dan batin, dalam kesunyian dan juga keramaian, tetapi engkau sembunyikan dinar dan dirhammu dari mereka, sambil mengharap kedekatan dan kebersamaan dengan mereka. Pakailah akal! Ini adalah mahabbah yang bohong belaka. Seorang pecinta tidak akan menyembunyikan apa pun dari kekasihnya, bahkan ia akan memberikan segala sesuatu padanya.

Kefakiran sudah melekat pada diri Nabi Saw. dan tak pernah meninggalkannya. Beliau bersabda :
"Kefakiran lebih cepat mengantarkanku kepada Zat yang mencintaiku (Allah) daripada aliran air ke muaranya."

'A'isyah, rda. menuturkan labih lanjut, "Dunia senantiasa menjadi kotoran yang menyesakkan kami selama Rasulullah Saw. masih berada di tengah-tengah kami. Selepas beliau meninggal, dunia mengalir pada kami dengan derasnya."

Jika kefakiran adalah syarat mencintai Rasul, maka syarat mencintai Allah adalah bala cobaan. Seorang Sufi menuturkan, "Setiap bala cobaan disertai dengan kesetiaan." Agar tidak dicap hanya mengaku-aku cinta Allah dengan kebohongan, kemunafikan, dan riya', maka cabut kembali klaim dan kebohonganmu. Jangan pernah engkau lintaskan ini dalam kepalamu. Jika engkau datang, maka sedekahlah, jika tidak, maka jangan ikuti kami. Jangan bersikap perlente di depan tukang tukar uang (tanpa uang), sebab ia tidak akan menerimamu dan malah akan mengeksposmu. Jangan dekati ular dan macan, sebab mereka bisa membinasakanmu. Jika engkau seorang pawang, bolelah kau dekati ular itu, dan jika engkau sudah memiliki kekuatan, maka dekatilah macan itu. Jalan (menuju) al-Haqq 'Azza wa Jalla membutuhkan kejujuran (kesungguhan, shidq) dan cahaya makrifat. Dengan kesungguhan, mentari makrifat akan muncul di hati kaum shiddiqin, dan tidak pernah tenggelam, siang maupun malam.

Wahai pemuda, berpalinglah engkau dari orang-orang munafik yang mendapat murka Allah 'Azza wa Jalla. Pakailah akal dan jangan engkau dekat-dekat dengan kebanyakan manusia (ahl az-zaman), karena mereka adalah serigala-serigala berbulu domba. Ambillah cermin pikir dan mengacalah. Mohonlah juga pada Allah agar memperlihatkan padamu akan dirimu (sendiri) dan mereka. Aku telah berpengalaman dengan manusia dan Sang Maha Pencinta. Kutemukan keburukan pada diri manusia, dan kebaikan pada Sang Pencipta. Ya Allah, selamatkanlah kami dari keburukan perilaku mereka dan anugrahkan pada kami kebaikan-Mu di dunia dan Akhirat.
 
Aku tidak menginginkan kalian demi kepentinganku, malainkan demi kepentingan kalian sendiri. Aku hanya membuat simpul pada tali kalian, dan aku tidak mengambil apa-apa dari kalian kecuali demi kemaslahatan kalian. Aku sudah memiliki sesuatu yang telah diperuntukkan khusus bagiku dan tidak kubutuhkan apa yung aku ambil dari kalian. Aku hanya tinggal bekerja atau bertawakkal apda Allah 'Azza wa Jalla. Aku tak pernah mengaharapkan pemberian kalian sebagaimana orang munafik yang riya', berpasrah diri pada kalian dan melupakan Tuhannya. Aku adalah parameter timbangan penghuni bumi (manusia), maka bersikaplah logis dan jangan bermuka manis di hadapanku, sebab aku mengetahui kualitas baik dan rendah kalian berkat pertolongan Allah dan akreditasi-Nya padaku.
 
Jika engkau menginginkan kebahagiaan, maka jadilah engkau landasan tongkatku, hingga bisa kuketuk-ketuk nadi hawa nafsumu, tabiat, Setan, musuh-musuhmu, serta kolega-kolega burukmu. Mohonlah pertolongan kepada Tuhanmu dalam menghadapi musuh-musuh ini. Si pemenang adalah orang yang bersabar menghadapinya dan si pecundang adalah orang yang menyerah pada mereka. Petaka memang banyak, tetapi muara (rumah)nya hanya satu. Penyakit juga banyak, namun tabibnya hanya satu. Hai, orang-orang yang sakit jiwa, pasrahkanlah dirimu pada seorang tabib. Jangan menuduh mereka atas apa saja yang ia lakukan padamu, karena dia lebih sayang dengan kalian daripada kalian sendiri. Membisulah di hadapnnya dan jangan sekali-kali membantahnya, niscaya kalian akan melihat segenap kebaikan di dunia dan Akhirat.
 
Kaum (Sufi) senantiasa dalam kondisi diam secara total, mati total, dan keterkejutan total. Jika hal ini telah sempurna mereka jalankan, dan mereka pun masih terus menjalaninya, maka Allah akan membuat mereka bicara kembali, sebagai mana Dia membuat bicara benda-benda mati pada Hari Kiamat. Mereka tidak berbicara kecuali jika dititahkan untuk bicara. Mereka juga tidak mengambil  jika tidak diberi. Tidak pula mereka bergembira jika tidak digembirakan. Hati mereka memang sudah menyamai hati para malaikat. Allah berfirman :
"Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (Q.S. 66:6).
 
 Mereka telah menyamai derajat malaikat, bahkan setingkat lebih tinggi berkat makrifat pada Allah 'Azza wa Jalla dan pengetahuan terhadap-Nya serta terhadap malaikat-Nya. Para pembantu dan pengikut mereka banyak menyerap manfaat dari mereka, sebab terdapat hikmah yang memancar deras di hati mereka. Hati mereka terjaga dari segala petaka, karena pataka hanya sampai pada anggota badan, struktur tubuh, dan nafsu mereka, serta tidak pernah sekalipun mencintai hati mereka.

Jika engkau ingin mencintai posisi mereka, maka engkau harus merealisasikan keislaman, meninggalkan dosa-dosa, baik yang kasat mata maupun yang tersembunyi, berlaku wara' secara universal, zuhud menjauhi kemubahan duniawi maupun kehalalannya, merasa cukup dengan kemurahan Allah, zuhud juga dalam kemurahan anugrah-Nya dan merasa cukup (kaya) dengan kedekatan-Nya (hingga tak butuh apa-apa lagi). Jikalau rasa cukupmu dengan kedekatan-Nya sudah benar-benar sahih, maka Dia akan mengucurkan anugrah kemurahan-Nya padamu. Dia akan membuka untukmu pintu-pintu bagian-Nya (qadha dan qadar), juga pintu kelembutan, rahmat, dan anugrah-Nya. Dia genggam dunia untukmu, lalu membentangkannya seluas-luasnya.

Semua anugrah ini hanya diberikan-Nya pada manusia-manusia pilihan, yaitu para wali dan shiddiqin, karena Dia Maha Mengetahui akan ketakwaan mereka. Mereka tidak pernah menyibukkan diri dengan sesuatu sampai terlena melupakan-Nya, namun pada banyak kasus, dunia tergenggam rapat dari mereka (tidak Allah kucurkan pada mereka), karena Dia lebih suka kesunyian total mereka hanya bersaman-Nya, kehadiran mereka hanya pada-Nya, dan pencarian mereka untuk-Nya. Jikalau Dia menganugerahi keduniaan pada mereka, bisa jadi mereka malah sibuk mengurusinya, duduk bersamanya, dan lupa melayani-Nya. Inilah yang biasa terjadi, sementara hal di atas adalah sesuatu yang jarang terjadi. Adapun yang jarang ini tidak terkait dengan hukum. Nabi Saw. termasuk orang yang ditawari dunia, namun tidak sibuk mengurusinya dan lupa melayani-Nya. Beliau tidak menoleh pada bagian-bagian (rezeki) dengan segala kesempurnaan zuhud dan penentangan. Beliau pernah ditawari kunci-kunci kekayaan bumi, namun beliau justru mengembalikannya sembari berkata :
"Tuhan, hidupkanlah aku sebagai orang miskin dan matikan aku sebagai orang miskin, serta kumpulkan aku kelak bersama orang-orang miskin."

Zuhud adalah anugrah kesalehan. Jika tidak, maka tidak ada seorang pun yang mampu berzuhud menjauhi (dunia)nya. Seorang Mukmin bebas lepas dari beban ambisi (mengumpulkan duniawi), tidak pula rakus dan terburu-buru. Dia berzuhud atas  segala sesuatu dengan segenap hatinya dan berpaling darinya dengan segenap nuraninya. Dia hanya sibuk dengan apa yang diperintah kepadanya, dan dia tahu pasti bahwa bagiannya tidak akan lepas darinya, hingga dia pun tidak perlu mencarinya. Dia biarkan bagian-bagian (duniawi) berlari mengejar di belakangnya, merendah dan memohon-mohon padanya untuk menerimanya.

Wahai pemuda! Engkau membutuhkan keimanan yang mengarahkanmu di jalan al-Haqq 'Azza wa Jalla, juga keyakinan yang mengokohkan  jejak langkahmu di sana. Pada awal penempuhanmu di jalan ini, engkau membutuhkan himyan (ikat celana berisi uang sebagai bekal), dan pada akhirnya engkau membutuhkan iman. Bedanya dengan jalan ke Makkah yang dikatakan oleh sebagian kalangan membutuhkan iman dulu, baru himya dan iman, di awal dan akhir perjalanan.

Sufyan ash-Shawri-semoga Allah mengasihinya-pada awal menuntut ilmu, diperutnya terikat sabuk himyan berisi uang 500 dinar untuk keperluan hidup dan belajar. Dia ketuk-ketuk sabuk itu dengan tangannya seraya berkata, "Jika tidak ada engkau, pastilah mereka sudah membuang kita." Setelah diperolehnya ilmu dan makrifat pengetahuan al-Haqq 'Azza wa Jalla, maka dia sumbangkan sisa uang yang ada padanya untuk kaum fakir dalam waktu satu hari, seraya berkata, "Jikalau langit adalah besi yang tak mencurahkan hujan, bumi berupa batu cadas yang tak menumbuhkan (tanaman) dan aku pun (harus) berkonsentrasi mencari rezeki, maka pastilah aku menjadi kafir."

Bekerja dan beriteraksilah  dengan sarana sampai imanmu benar-benar kuat, baru setelah itu berpindahlah dari sarana (sebab) pada Pemberi sarana (Musabbib). Para nabi juga bekerja, bermodal, dan berhubungan dengan sarana duniawi pada awal keadaan mereka, baru pada akhirnya, mereka pasrah diri (tawakal). Mereka mensinergikan  kerja dan tawakal sebagai awalan dan akhiran, syariat dan hakikat. Hai orang-orang yang tertolak (al-mahrum)! Jangan kosongkan tanganmu dari bekerja demi kepasrahan  diri (menunggu) apa yang ada di tangan manusia dan membebani mereka. Dengan demikian, engkau telah mengingkari nikmat takdir. Allah 'Azza wa Jalla pun murka besar padamu dan menjauhimu. Tidak bekerja dan mengemis pada manusia adalah siksaan ('uqubah) dari Allah pada seorang hamba. Nabi Sulayman As, misalnya. Setelah Allah melengserkan tahta kerajaannya, kemudian Dia menghukumnya dengan banyak hal, di antaranya mengemis dan meminta-minta. Dulu pada masa pemerintahannya, dia bekerja dan bisa makan dari hasil keringatnya sendiri, namun kemudian al-Haqq 'Azza wa Jalla menyempitkan  jalan rezeki baginya, hingga dia terpaksa harus meminta-minta. Semua itu di karenakan istrinya menyembah patung di rumahnya (Sulayman) selama 40 hari, maka selama 40 hari juga ia terus mendapat siksaan hari demi hari.

Kaum (saleh) tidak memiliki obat keceriaan bagi mendung kesedihan mereka, juga tidak meletakkan beban mereka, dan tidak pula memiliki permata kasih di mata mereka serta hiburan bagi musibah mereka, hingga mereka  bertemu Tuhan mereka. Pertemuan kaum saleh dengan Tuhannya meliputi dua jenis; pertama, pertemuan di dunia, yaitu melalui hati dan nurani kaum saleh, dan ini termasuk jarang terjadi. Kedua, petemuan di akhirat. Kaum saleh baru bisa merasakan kebagaiaan dan keceriaan setelah bertemu dengan Tuhan mereka, meskipun sebelumnya, musibah (kesedihan) terus-menerus menimpa.

(Setelah berbicara tentang nafsu, Syekh Abdul Qadir al-Jailani melanjutkan) :

Wahai pemuda! Cegahlah nafsu dari syahwat kesenangan dan kelezatan. Berilah dia makanan yang suci tanpa najis. Makanan yang suci adalah makanan halal. Adapun makanan yang najis adalah haram. Kemudian tutur Syekh lagi, berilah dia sarapan yang halal hingga dia tidak menjadi sombong, tinggi hati, dan kurang ajar. Ya Allah, kenalkanlah kami dengan-Mu hingga kami mengenal-Mu. Amin.

Cat :
Disadur dari "Rahasia-rahasia Agung Berjumpa Allah, Lautan Hikmah Kekasih Allah, 62 Pedoman Hidup untuk Menjadi kekasih Alla", hal 21 s/d 26, Penerbit Diva Press, Cetakan III Januari 2008.